SISTEM POLITIK PANCASILA
Sila-sila di dalam Pancasila sebenarnya saling terkait. Penghayatan akan sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, menjadi fondasi bagi penghayatan 4 sila lainnya. Dalam bahaya sederhana, kita bisa mengungkapkannya seperti ini: Hanya manusia yang menyadari penuh realitas Tuhan dan hidup dalam kesadaran menyatu dengan Tuhan, yang punya kasih murni yang memunculkan semangat humanisme universal. Hanya manusia yang punya kasih murni dan punya kesadaran humanisme universal yang bisa melepaskan ego pribadi, ego kesukuan, ego dan ego agama. Hanya dalam kasih murni, segala bisa dilampaui, segala hasrat kompetisi dan dominasi kepada pihak lain bisa luruh. Yang muncul hanya semangat bersaudara dan mengayomi tanpa diskriminasi.
Budaya luhur yang dibentuk dari penghayatan 3 sila pertama Pancasila, adalah bingkai bagi sistem politik nasional yang esensinya dirumuskan dalam sila ke 4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Jika dirumuskan dengan bahasa yang lebih lugas, sistem politik kita adalah demokrasi terpimpin. Ini adalah tentang kedaulatan rakyat yang tidak lepas kendali, tapi dipimpin oleh kesadaran murni, oleh kebijaksanaan Ilahi. Ini tentang pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang secara natural terpilih menjadi tetua masyarakat karena keteladanan, kebijaksanaan dan pengayomannya. Sekelompok orang yang kredibel itulah yang berembug, bermusyawarah, mewakili seluruh rakyat, tidak dengan mengedepankan ego dan pikiran, tetapi mengedepankan hikmat kebijaksanaan. Hikmat kebijaksanaan adalah tuntunan Ilahi di dalam sanubari yang bisa dimengerti di dalam keheningan.
Sistem politik kita pada dasarnya bukan sistem politik yang dibangun atas dasar kompetisi, dimana yang berkuasa adalah mereka yang bisa mendayagunakan kekuatan uang, propaganda media dan asset lain untuk memanipulasi rakyat. Sistem permusyawaratan/perwakilan dibuat berjenjang, tetapi bahkan di jenjang paling bawah pemimpin dipilih berdasarkan kriteria jiwa Pancasila: seorang pemimpin adalah sosok yang punya kesadaran ketuhanan yang murni, punya semangat humanisme universal, bisa melampaui ego pribadi, suku, tas dan agama sehingga bisa mempersatukan warga. Ini pasti akan diketahui secara natural oleh warga yang juga terbiasa menyelami keheningan.
Bangunan politik Pancasila tidak bisa terbangun kecuali kita terlebih dahulu membangun budaya Pancasila. Dan budaya Pancasila tak bisa dibangun dengan indoktrinasi maupun metoda pengajaran kognitif. Jalan satu-satunya adalah dengan mentradisikan keheningan. Setiap warga bangsa diajak untuk terhubung dengan sumber kasih murni dan kebijaksanaan tertinggi di dalam dirinya. Maka tentu saja ini membutuhkan kerja besar, strategi pendidikan dan kebudayaan yang membangkitkan DNA keagungan bangsa Nusantara. Inilah mengapa Bung Karno mendahulukan pembangunan budaya berdasar jatidiri. Itu dasar dari semuanya: setiap warga Indonesia harus sadar akan realitasnya sebagai jiwa Ilahi, dan sadar pula akan keberadaan dirinya sebagai manusia Nusantara yang mewarisi keagungan dari masa silam.
Sebenarnya segala sesuatunya telah gamblang. Kita hanya perlu menjalankannya dengan konsisten. Di sinilah menjadi penting peran para Guru Bangsa, orang-orang tercerahkan yang bisa mendidik seluruh warga bangsa untuk berbudaya sesuai jatidiri, menjadi manusia yang berjiwa Pancasila. Sekaranglah saatnya rancangan agung ini mulai direalisasikan.
Merdeka!
* Penulis adalah Guru Meditasi
Sila-sila di dalam Pancasila sebenarnya saling terkait. Penghayatan akan sila Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa, menjadi fondasi bagi penghayatan 4 sila lainnya. Dalam bahaya sederhana, kita bisa mengungkapkannya seperti ini: Hanya manusia yang menyadari penuh realitas Tuhan dan hidup dalam kesadaran menyatu dengan Tuhan, yang punya kasih murni yang memunculkan semangat humanisme universal. Hanya manusia yang punya kasih murni dan punya kesadaran humanisme universal yang bisa melepaskan ego pribadi, ego kesukuan, ego dan ego agama. Hanya dalam kasih murni, segala bisa dilampaui, segala hasrat kompetisi dan dominasi kepada pihak lain bisa luruh. Yang muncul hanya semangat bersaudara dan mengayomi tanpa diskriminasi.
Budaya luhur yang dibentuk dari penghayatan 3 sila pertama Pancasila, adalah bingkai bagi sistem politik nasional yang esensinya dirumuskan dalam sila ke 4: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Jika dirumuskan dengan bahasa yang lebih lugas, sistem politik kita adalah demokrasi terpimpin. Ini adalah tentang kedaulatan rakyat yang tidak lepas kendali, tapi dipimpin oleh kesadaran murni, oleh kebijaksanaan Ilahi. Ini tentang pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dilakukan oleh sekelompok orang yang secara natural terpilih menjadi tetua masyarakat karena keteladanan, kebijaksanaan dan pengayomannya. Sekelompok orang yang kredibel itulah yang berembug, bermusyawarah, mewakili seluruh rakyat, tidak dengan mengedepankan ego dan pikiran, tetapi mengedepankan hikmat kebijaksanaan. Hikmat kebijaksanaan adalah tuntunan Ilahi di dalam sanubari yang bisa dimengerti di dalam keheningan.
Sistem politik kita pada dasarnya bukan sistem politik yang dibangun atas dasar kompetisi, dimana yang berkuasa adalah mereka yang bisa mendayagunakan kekuatan uang, propaganda media dan asset lain untuk memanipulasi rakyat. Sistem permusyawaratan/perwakilan dibuat berjenjang, tetapi bahkan di jenjang paling bawah pemimpin dipilih berdasarkan kriteria jiwa Pancasila: seorang pemimpin adalah sosok yang punya kesadaran ketuhanan yang murni, punya semangat humanisme universal, bisa melampaui ego pribadi, suku, tas dan agama sehingga bisa mempersatukan warga. Ini pasti akan diketahui secara natural oleh warga yang juga terbiasa menyelami keheningan.
Bangunan politik Pancasila tidak bisa terbangun kecuali kita terlebih dahulu membangun budaya Pancasila. Dan budaya Pancasila tak bisa dibangun dengan indoktrinasi maupun metoda pengajaran kognitif. Jalan satu-satunya adalah dengan mentradisikan keheningan. Setiap warga bangsa diajak untuk terhubung dengan sumber kasih murni dan kebijaksanaan tertinggi di dalam dirinya. Maka tentu saja ini membutuhkan kerja besar, strategi pendidikan dan kebudayaan yang membangkitkan DNA keagungan bangsa Nusantara. Inilah mengapa Bung Karno mendahulukan pembangunan budaya berdasar jatidiri. Itu dasar dari semuanya: setiap warga Indonesia harus sadar akan realitasnya sebagai jiwa Ilahi, dan sadar pula akan keberadaan dirinya sebagai manusia Nusantara yang mewarisi keagungan dari masa silam.
Sebenarnya segala sesuatunya telah gamblang. Kita hanya perlu menjalankannya dengan konsisten. Di sinilah menjadi penting peran para Guru Bangsa, orang-orang tercerahkan yang bisa mendidik seluruh warga bangsa untuk berbudaya sesuai jatidiri, menjadi manusia yang berjiwa Pancasila. Sekaranglah saatnya rancangan agung ini mulai direalisasikan.
Merdeka!
* Penulis adalah Guru Meditasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar